Penulis: Hamka
Penerbit: Balai Pustaka
ADAT istiadat
nenek moyang masih tetap dipegang erat oleh suku Melayu. Latar belakang
keluarga menjadi pandangan setiap orang, seperti anak yang lahir dari latar
belakang yang tak begitu jelas akan mendapat perlakuakn berbeda dari masyarakat.
Zainudin yang kerap kali dianggap sebagai anak buangan karena terlahir dari
orang tak jelas membuatnya diasingkan. Hidup di kampung terpencil di Sumatera
bersama orang tua angkat membuatnya ingin merantau ke daerah lain.
Perantauannya juga tidak berjalan mulus. Nasibnya yang selalu diasingkan
membuatnya hanya bisa bercakap dengan dirinya sendiri. Kesengsaraannya sudah ia
genggam sejak kecil, tetapi dapat terobati ketika bertemu dengan Hayati, gadis
cantik yang merasa kasihan kepada Zainudin. Perasaan mereka juga tetap terjaga
karena hanya surat menyurat yang bisa mereka lakukan.
Nasib Zainudin juga terulang kembali.
Ketika orang tua Hayati tidak menerima lamaran Zainudin untuk Hayati lantaran
latar belakang keluarganya. Akhirnya menyuruh Zainudin untuk pergi mencari
kampung lain. Kesendiriannya kembali terjadi dan mungkin hanya balasan surat
dari Hayati yang bisa mengobatinya sementara. Naasnya lagi, Zainudin harus
menahan dirinya untuk bunuh diri ketika mendapat surat penolakan melamar
Hayati. Hayati yang harus menikah dengan Aziz membuat Zainudin sakit selama dua
bulan. Hanya sahabatnya yang menemani selama Zainudin terpuruk.
Kesadarannya muncul ketika ia mencoba
untuk melupakan Hayati dengan pergi ke tanah rantau lebih jauh lagi, yaitu
Jawa. Di Surabayalah ia memilih mengembangkan kariernya menjadi sastrawan. Tulisan-tulisan
dan hikayat yang ia tampilkan benar-benar terinspirasi oleh kesengsaraannya.
Bertahun-tahun ia di Surabaya dan sudah dikenal banyak orang, akhinya bertemu
dengan Hayati dan Aziz. Zainudin menganggap mereka sahabat tetapi perasaannya
terhadap Hayati tetap ada.
Lika-liku perjalanan rumah tangga
Hayati bersama Aziz selama di Surabaya bisa dikatakan tidak mulus. Berbagai
masalah menimpa Aziz, dan Hayati menjadi korban. Zainudin juga tidak ingin
melihat sahabatnya sengsara, dibantunya terus menerus hingga Aziz sadar bahwa
ia sudah ditolong oleh orang yang dulu ia hina. Aziz pun menyerahkan Hayati
kepada Zainudin untuk membalas semua itu dan Aziz memilih mengakhiri hidupnya.
Zainudin tidak tergiur dengan tawaran
Aziz. Hayati tetap menjadi sahabatnya, bukan orang yang ingin lagi ia miliki.
Dendamnya terlalu besar dibandingkan dengan rasa cintanya. Konflik batin pada
bagian ini sangat terasa, terlihat ketika Zainudin menyuruh Hayati pulang ke
Padang sedangkan ia sendiri tidak tenang melihat Hayati pergi. Padahal, ia
sendiri tahu bahwa hidupnya tidak berati apa-apa dengan harta yang sudah ia
miliki dibandingkan dengan adanya Hayati di sampingnya. Namun, rasa cintanya
itu tertutup oleh dendam.
Namun, dendamnya bisa terkalahkan
ketika Zainudin ingin menyusul kapal Hayati di Tanjung Priok dan membawanya
kembali ke Surabaya. Tetapi terlambat, kapal Van Der Wicj yang ditumpangi
Hayati ternyata tenggelam. Di sinilah Zainudin menyerah dengan dendamnya
sendiri. Disusulnya Hayati ke tempat para korban dievakuasi dan di situlah
Zainudin terlambat mengatakan bahwa ia masih mencintai Hayati.
Aspek-aspek budaya yang disajikan di
dalam novel karya Hamka ini masih sangat kental. Hal itu terlihat dari
penyajian awal novel dan bahasa melayu yang masih ada. Meskipun kapal Van Der
Wicj hadir di akhir cerita, tetapi itulah yang membuat Zainudin mengalah dengan
dendamnya. Cintanya kalah oleh konflik batin yang dialami. Benar kata Zainudin
bahwa “Sesejahtera apa pun hidupnya tanpa ada cinta di sampingnya, semua itu
tidak ada artinya.”[]Prav
Prajna Vita
Komentar
Posting Komentar