Langsung ke konten utama

Tragedi Kedua Comal 25 tahun lalu terulang


Akankah terulang kembali tragedi tahun 1989. Comal. Satu tahun adanya kejadian berturut-turut dengan jangka 25 tahun terjadi kembali. Entah faktor apa yang ada?

Januari, Meluapnya sungai kali comal karena tingginya air dari dua bendungan, Sakawati dan Kaliwadas membuat daerah Comal ditelan air hingga 1,5 m.
25 tahun lalu jembatan comal mengalami patah hingga berbentuk huruf W. Masih beruntuk untuk tahun ini hanya mengalami amblas di ujung jembatan.

Juli, Jembatan kali comal mengalami amblas di ujung jembatan 8 cm perjam.

18 Juli 2014 tepat pukul 02.00 terdengar bunyi patahnya beton ujung jembatan bagian barat sebelah selatan dan longsor bagian barat sebelah utara. Warga setempat segera menutup jalur dua arah sekaligus untuk mengurangi resiko yang lebih tinggi. Para warga antusias setelah mendengar kabar amblasnya jembatan, mereka meluangkan waktu melihat bagaimana keadaannya.

19 Juli 2014 jalan menuju jembatan ditutup agar tidak ada warga yang melewati. Ironis memang, dua hari sebelumnya sudah mengalami amblas 20 cm namun masih tetap dilalui. Akibat amblasnya jembatan tersebut mengalami lumpuh total di jalan alternatif pantura. Penutupan dua jalur pada dini hari terjadi kemacetan yang luar biasa.

Jembatan Comal sebenarnya tidak ambruk tapi amblas, namun sengaja diambrukkan untuk perbaikan. Perbaikan yang dilakukan semaksimal mungkin selama 24 jam untuk meminimalisir waktu agar jalan alternatif dapat digunakan kembali menjelang arus mudik dan arus balik. Nantinya akan dibungkar habis dan diperbaiki dari awal ketika arus balik sudah berlalu.
Amblasnya jembatan comal menjaring antusias warga untuk menilik aktivitas yang berjalan ditambah ramainya pemudik. Hal tersebut membuat keuntungan besar bagi warga setempat. 

Dibukanya tempat penitipan motor (awalnya tidak ada) bagi orang-orang yang ingin melihat amblasnya jembatan, dikenai tarif Rp 2.000. Penambahan dua perahu penyeberangan sungai yang dikenai tarif Rp 3.000 perkepala yang awalnya Rp 2.000 perkepala. Berbagai pedagang jajanan dan sebagainya begitu laris disekitar jembatan. Ojek dengan pendapatan dua kali lipat, dari Comal ke arah timur maupun ke barat dikenai tarif Rp 10.000 hingga Rp 100.000.

Pagi para pemudik harus memopang barang bawaan mereka dari jalan raya menuju bawah jembatan untuk menyebang sungai melanjutkan perjalanan mereka. Dengan hanya dua perahu saja pemudik harus mengantre dari banyaknya pemudik lain. Mereka harus rela melepas sepatu atau sandal karena tanah pinggiran sungai yang benyek akibat seringnya hujan lebat mengguyur kota Comal semalaman.

Lalu lalang orang menjadi jembatan comal bak pasar dadakan, mereka ingin melihat bagaimana keadaan yang terjadi, bukan hanya dari warga setempat saja, tetapi orang-orang dari warga lain juga antusias. Namun, penjagaan ketat dari polisi tetap dikerahkan untuk mengurangi konflik yang terjadi. Berbagai tawaran ojek juga terdengar sana sini. Pemudik yang tak mau kehilangan biaya hingga tiga kali lipat rela berjalan dari jembatan menuju lampu merah (Blandong) untuk menyambung angkot agar lebih murah.

Keramaian ini membuat orang-orang gembar-gembor dalam jejaring sosial, dari mulai keluhan tak bisa menjalankan aktivitas karena melewati jembatan dan berbagai foto narsis dengan bakcground jembatan sering kali mampir dalam beranda-beranda facebook maupun jejaring sosial lainnya. Para pemudik juga mengeluarkan gadged mereka untuk mendokumentasikan sekitar jembatan karena banyaknya warga yang berjubel untuk melihat aktivitas.

Tragedi kedua dari empat tragedi 25 tahun yang lalu terulang kembali, apakah selanjutnya akan terjadi kembali tragedi ketiga ataupun keempat? Terbakarnya pasar Comal ataupun putusnya jembatan kereta api dalam waktu satu tahun. []Prav

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coffee Time: Sebuah Rasa

Photo by, Prajna Farravita Kata apa yang tepat untuk menerjemahkan kompleksitas rasa? Bukan perasaan, tetapi rasa kopi. Bukankah keduanya juga berhubungan? Oh iya, memang keduanya berhubungan sangat erat. Pernah disinggung bahwa kopi perihal candu yang bikin rindu. Ya, rasa kopi memang mencandu dan merindukan. Merindukan pada momen tentunya. Rasa pada sebuah kopi tidak bisa terdeteksi tanpa ada perasaan. Perasaanlah yang mampu menerjemahkan rasa kopi. Terkadang perasaan juga mampu menerjemahkan rasa selain kopi. Rasa rindu. Bisa jadi rindu terhadap kenangan. Saat ini, yang kutahu hidupku berubah. Sebuah rasa yang dulu memang sudah berlalu, tetapi belum sepenuhnya hilang. Pada sebuah labirin itu aku berkutik mencari celah untuk keluar. Ya, aku memang bisa. Lalu, labirin itu kutinggalkan karena aku tidak mau menjadi konflik pada kebahagiaan orang yang pernah kusayangi. Sebuah rasa itu pertama kali kupunyai dan pertama kali pula membuatku kecewa. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya tanp

Tidak Mempunyai Rencana Menetap di Satu Kota, Sewa Rumah Menjadi Pilihan

Anda seorang profesional muda? Pasti masih menginginkan pengembangkan kemampuan yang lebih tinggi lagi. Perpindahan dari satu kota ke kota lain kerap terbesit. Mencari pengalaman ke daerah lain memang cara terbaik agar mendapat apa yang diinginkan. Apalagi untuk seseorang yang harus berpindah ke luar negeri untuk melanjutkan studi atau bekerja. Perlu diketahui juga, bahwa berpindah dari satu kota ke kota lain atau dari satu negara ke negara lain bukan hanya mendapatkan pengalaman, tetapi menemukan beragam kehidupan lain. Apabila Anda mempunyai perencanaan seperti itu, lalu bagaimana Anda tinggal di daerah pilihan Anda? Tidak dipungkiri, setiap orang menginginkan tempat tinggal tetap untuk masa depan. Perencanaan tersebut merupakan salah satu nilai kemapanan dalam kehidupan mendatang. Namun, jika Anda seorang profesional muda dan tidak berencana menetap di suatu daerah serta menginginkan pengalaman yang terus baru, pasti tidak mempunyai perencanaan matang untuk investasi berupa ruma

Berbisik pada Bumi Agar Didengar Oleh Langit

Aku tidak tahu mengapa aku ingin membisikkan pada bumi agar didengar oleh langit.   Mungkin, pada hari itu aku sedikit takut membicarakan langsung pada langit. Maka, kubisikkan ke bumi terlebih dahulu, agar langit tahu perlahan. Aku tidak ingin kebahagiaan ini aku rasakan sendiri. Aku ingin berterima kasih pada-Nya melalui celah-celah indra yang kurasakan ketika aku mengingat-Nya. Melalui hujan yang menyapa bumi, aku bisikkan pada titik air hujan yang menempel pada kaca agar disampaikan ke bumi. Bahwa, aku di sini, yang terus meminta, agar aku menjadi orang yang dicari oleh orang yang aku cari. Pada tanggal satu yang dikuti empat, pada dua belas bulan dalam setahun berhenti di angka dua, pada tahun dua kosong satu enam, dan pada waktu sepertiga malam, tulisan itu mengalir pada senja, pukul tujuh belas di menit ke lima, satu prosa mengalir saat ditemani sapaan langit terhadap bumi.  Aku telah menemukan hamba-Nya yang membuatku lebih dekat dengan-Nya, hamba-Nya yang menyadarka