Sebuah perjalanan membutuhkan saatnya berhenti untuk berpikir sejenak dan memilih keputusan yang tepat. |
Seseorang menabrak pundakku ketika mobil angkutan sudah
berhenti tepat di depanku. Halte ini tak pernah sepi, pemberhentian kendaraan umum
sekarang sudah teratur, sehingga tidak ada lagi kemacetan. Karyawan kantor
tidak lagi berdesak-desakan di jalan, tidak lagi harus merapikan diri kembali
setelah turun dari kereta. Pemimpin perusahaan tidak lagi melihat keterlambatan
karyawan karena alasan macet, menunggu kereta, dan hal-hal lain di jalan.
Aku menyapu jalanan sekitar, para karyawan kantor masih
terlihat rapi dengan kemeja dan celana bahannya. Mereka siap bertemu banyak
orang, dengan klien kerja yang mempunyai pemikiran sama, bercakap tentang
bisnis mereka, mengandalkan keahlian berbicara, mengemukakan pikiran, dan
membicarakan isu-isu terkini.
Ketika masih berada di bangku kuliah, aku melihat masa
depanku akan seperti mereka. Namun, semua itu ternyata pandangan semu. Mengambil
jurusan hebat di salah satu Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di Indonesia
memang mengangkat namaku. Desain mode. Namun, pendidikan hanya sekadar
angka-angka saja. Kemampuan begitu kosong. Persaingan yang kini mendunia, angka
selangit di atas kertas, tak lagi menjadi bahan pertimbangan sebagai prioritas
utama.
Aku mendapat nilai di atas rata-rata, tetapi hidupku tetap
begini-begini saja, tak pernah berubah. Aku menginginkan bekerja di butik
terkenal, dengan keseharian menggores pensil dan membentuk busana-busana casual nun indah. Tapi harapan itu
nihil.
Setelah kelulusanku, ayah meninggalkan kami dan ibu mengacaukan
segalanya. Lari dengan laki-laki lain. Suaminya yang hebat, mampu membuat
namanya dikenal banyak orang. Mulanya, perempuan yang sudah melahirkan aku dan
Risa itu datang setiap seminggu sekali, lalu dua minggu sekali, kemudian
sebulan sekali, dan semakin sibuk untuk menemani suami barunya, ia hanya datang
tiga bulan sekali. Rasanya ingin membunuh perempuan itu ketika datang menemui
kami. Namun, aku masih mengingat bahwa dia pernah melahirkanku.
***
Surat berlogo resmi dan bertanda tangan kepala sekolah Risa kembali
mendarat di meja. Tiga bulan keterlambatan. Ironis memang, surat lamaran
pekerjaanku tidak pernah mendapat jawaban. Aku mengakui, bahwa riwayat hidup
itu tidak menjual, tidak ada pengalaman tertulis. Pernah aku mendapat panggilan
wawancara pekerjaan dan aku datang dengan persiapan matang. Namun, kekecewaan
yang kudapat, “Tanganmu masih halus, tak pernah kerja kau? Apa pengalamanmu?” Aku
tak bisa menjawab pertanyaan itu, aku memang tak pernah mencoba mendesain untuk
menghasilkan produk bernilai jual. Aku mendesain karena tuntutan tugas
perkuliahan, aku seperti robot, selalu mau melakukan pekerjaan yang tidak
menguntungkan diriku sendiri.
“Desainmu bagus, tapi maaf. Kami hanya menerima penjahit
jaket saja. Di sini karyawan bekerja dua minggu sebelum musim dingin, jika kau
berminat bisa datang lagi.” Kata pemilik toko yang iklan lowongannya aku
dapatkan dari tempelan kertas di halte bus.
Apa dunia sekarang seperti ini? Entahlah. Setiap pekerjaan
disesuaikan dengan keadaan sekitar. Mungkin mereka juga meminimalisir
pembayaran gaji pegawai.
Aku merasa tenggorokan kering memikirkan hal itu. Aku berjalan
menuju minimarket untuk membeli sebotol air mineral. Belum sempat memutar tutup
botol, ada suara yang membuat wajahku harus berpaling padanya.
“Bisa bantu aku membawakan sebagian barang ini ke halte itu
saja?” katanya
Aku menelusuri barang bawaannya, sebuah kotak berwarna coklat
tertutup rapi yang dimaksud. Kuapit botol minuman tadi ke sela-sela lekukan
tangan dan mengangkat kotak itu. Tinggal tiga langkah saja botol yang kuapit merosot
dan lengan tangan tak bisa mengendalikan hingga kotak itu terjatuh dan semua
isinya berserakan.
“Maafkan aku, akan kurapikan.”
“Tidak perlu khawatir, semua isinya tidak mudah pecah. Hanya
alat lukis saja.”
“Bapak suka melukis? Atau hobi?” kulontarkan pertanyaan
sembari memunguti satu persatu alat-alat itu.
“Saya hobi melukis sejak kecil. Sudah menghasilkan beberapa
lukisan, tetapi tidak laku saat saya jual,” ujarnya dengan suara melemah “Kata
mereka lukisan saya kurang bercerita, kurang bisa membuat seseorang tertarik, setelah
itu saya berhenti melukis. Hari ini saya ingin memulai kembali agar mimpi itu menjadi
kenyataan,” ia mengambil nafas panjang.
“Pernah saya bermimpi bisa memajang semua lukisan karya saya
sendiri di galeri dan saya yang menggunting pita pembukaan pameran. Namun,
semua itu tak pernah terjadi. Saya sadar bahwa harapan hanya mimpi jika tak
diiringi usaha yang lebih keras. Mimpi hanya bunga tidur dan saya berusaha
bangun untuk menjadikan mimpi tersebut terlihat di depan mata. Akhirnya saya
mengganti mimpi dengan rencana dan impian,” ujarnya. Ia diam, menatap kosong.
Kemudian menghela nafas panjang dan melanjutkan lagi “Saya yang sudah berusaha
sekuat ini pun belum bisa terwujud, padahal umur saya sudah tidak muda lagi.
Bagaimana mereka yang hanya bermimpi, tetapi tidak mau melangkah, katanya takut
risiko, ya risiko itulah yang harus didekati untuk bisa mendapatkan apa yang
ada di balik risiko-risiko tersebut,” ia kembali diam, kepala didongakkan dan
matanya melihat kosong pada langit disiang bolong begini.
“Kau pernah mempunyai teman yang tak pernah menceritakan impiannya?”
Ia kembali berbicara setelah beberapa detik hening. Kotak itu sudah rapi dan
kuletakkan di samping kakinya “Ia bukan tertutup, tetapi ia berusaha mengurangi
obrolan orang-orang di sekitar tentang rencananya itu,” Ia kembali diam. Aku
merasa seseorang di sampingku ini seperti masih mengingat kembali masa-masa hidup
yang tampak mengecewakan. “Jika bisa diam mengapa harus berbicara?” Lanjutnya.
Aku merasa tersindir. Aku mengalami semua itu.
Mengkoar-koarkan rencana, mimpi, dan impian dengan begitu antusias, dengan
begitu semangat. Namun, memang usahaku tak pernah ada, akhirnya entah impian
itu ke mana. Dengan banyaknya teman yang
mengetahui semua mimpiku dulu, membuat mereka terus-terusan menanyakan sudah
sampai mana, bagaimana, dan apa yang sekarang kau lakukan. Hingga sekarang,
pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab tersebut terus datang. Semua itu
terlalu memuakan. Rasanya aku ingin beralih karier. Terkadang aku berpikir,
mengapa aku tidak dilahirkan dari keluarga yang sudah memiliki suatu usaha
besar saja. Aku tinggal melanjutkan untuk mengelolahnya. Mendapatkan semua
warisannya setelah semua tetuah sudah tak ada lagi.
“Hidup ini memang tak tahu siapa yang berharap siapa yang
berjuang dan yang mampu mencapai impiannya. Kadang meniru, kadang juga karena
ingin menandinginya, entah memang tertarik atau sekadar hanya ingin menyaingi
saja. Banyak sekali yang seperti itu,” ujar Bapak itu kembali.
Aku mengerti maksudnya. Aku seperti dalam lingkaran itu. Aku
tak mau berpindah-pindah pekerjaan, mengajukan lamaran pekerjaan dari satu tempat
ke tempat lain. Jika aku menerima tawaran bekerja di toko jaket, aku harus
mencari sampingan lain pada musim dingin. Aku takut keluar dari zona nyaman,
aku takut gagal dengan percobaan-percobaan yang tak kunjung usai. Namun,
tanggungan yang kuterima semakin ke sini semakin besar.
Pria di sampingku tak lagi berbicara. Ia tergesa-gesa karena
bus tujuannya sudah berada di depanku. Membawa semua barangnya dan ia pergi
dengan meninggalkan senyuman terima kasih.
Pria yang sudah hampir memasuki usia tua saja masih mau
berusaha untuk mengejar rencananya. Aku tak pernah berpikir bagaimana membuat
rencana B jika rencana A gagal. Sekarang aku tahu, bahwa tak semua rencana A
akan selalu berhasil. Aku memperhatikan langkah-langkah orang lalu lalang di
jalan kota seperti ini. Mungkin sebagian besar mereka telah membuat rencana A
dan B, atau bahkan C dan D. Sedikit dari mereka yang mengendalkan rencana A
saja, sama sepertiku.
Perhatianku pada mereka beralih di langit siang ini, langkah
oarng-orang semakin cepat. Semakin cepat dan cepat, kemudian hujan. Seketika
halte dipenuhi dengan orang-orang yang membuka payung mereka dan menunggu hujan
itu sedikit reda. Aku merasakan aroma tanah panas yang terguyur air, sungguh
membuatku tenang. Aku menyukai ini, aku menyukai aroma tanah panas dengan
siraman air hujan.
Satu dari banyaknya orang, terlihat seorang nenek mendekap
tentengannya. Ia terlihat masih kuat berjalan jauh.
“Payung, payung,” katanya menawarkan dagangan itu pada
orang-orang di halte. Beberapa orang mencoba mendekati dan membeli payung tersebut,
beberapa orang memilih menunggu hujan reda.
Nenek itu sama sepertiku, jika aku memilih pekerjaan di toko
jaket. Harus berjualan di musim hujan saja, selebihnya entah akan mendapatkan
uang dari mana. Setelah orang-orang itu tak lagi mendekatinya untuk membeli
payung, ia duduk di sampingku.
“Payung Neng,” tawarnya padaku
“Tidak Nek,”
“Mau kemana memangnya Neng?”
Aku diam. Aku bingung untuk menjawab apa. Aku masih belum
tahu harus ke mana. Tak mendapat jawabanku, ia melihatku dan sedikit
mengangkatkan alisnya memastikan bahwa aku mendengarnya. Seketika aku hanya
menggelengkan kepala untuk menjawabnya.
“Nenek menjual payung ketika masa hujan saja?” Kataku
memecahkan keheningan yang beberapa detik tadi terjadi.
“Ya, tapi saya juga punya sampingan. Di musim panas saya
menjual air mineral. Tapi setiap hari saya bawa kedua dagangan ini. Cuaca tidak
dapat diprediksi Nak. Jika saya hanya membawa satu saja, pulang saya tidak akan
mendapatkan uang, kalau cuaca itu tiba-tiba berbeda,” ia berhenti sejenak untuk
meletakkan payung-payung dan air mineral dagangannya ke bawah dekat kakinya.
“Namun, penghasilan terbanyak saja, ya jualan payung, uang yang saya dapat
lebih banyak. Kalau air, mereka biasanya sudah persiapan sendiri dari rumah.
Kadang saya hanya menginginkan musim hujan saja, jadi saya bisa membawa uang
lebih banyak.”
“Zaman sekarang sudah sulit Nak untuk mendapatkan uang.
Mereka sudah banyak yang ikut dengan orang luar. Menjadi karyawan di perusahaan
asing. Pemerintah tidak menyediakan lahan pekerjaan untuk orang-orang seperti
saya ini. Orang yang tak punya dana untuk mencari pendidikan, mana bisa
mendapakan uang jika tidak seperti ini Nak. Kalau dilihat sekarang ini pendidikan
juga kacau balau. Tidak meratalah, infrastrukturnya jeleklah, kemampuan para
pengajar masih dirasa kuranglah, hingga kekacauan kurikulum menjadi harus maju
mundur lagi.”
“Setiap perusahaan, sekarang bukan hanya mempertimbangkan
nilai saja Nek. Mereka menomor satukan kemampuan. Sedangkan pendidikan hanya nilai
saja yang menjadi kunci utama kelulusan. Orang-orang seperti saya yang tak punya
kemampuan lebih menjadi susah mendapatkan pekerjaan,” kataku.
“Benar dugaanku. Kamu masih bimbang dengan pekerjaan. Mau
bekerja sebagai apa kamu?”
“Saya tidak diterima di setiap perusahaan fashion. Menurut mereka nilaiku memang
bagus, tetapi tidak ada pengalaman. Saya diterima di toko jaket, tetapi harus
bekerja dua minggu sebelum musim dingin saja. Sedangkan saya harus membayar
biaya bulanan sekolah adik saya.”
“Kau pandai merancang baju?” Aku mengangguk “Mungkin belum
sehebat, mereka yang sudah malang melintang, sehingga mereka mengatakan bahwa
pengalamanmu tidak ada,” ia menarik nafas panjang “Aku benci dengan mereka yang
selalu menanyakan pengalaman. Untuk orang-orang yang baru saja lulus pendidikan
belum tentu mempunyai banyak pengalaman.” Aku tak menjawab.
“Kau ambil saja Nak. Di sana bisa sembari belajar, carilah sampingan
dan ambil pengalamannya. Pasti suatu saat nanti kau akan seperti mereka-mereka yang
rapi dengan kemeja, celana bahan, dan sepatu pantofelnya. Waktunya memang
panjang, tetapi lakukanlah dan jangan takut untuk keluar dari zona nyaman.”
Kami diam. Tak ada lagi bicara, tak ada lagi obrolan. Aku
melihat sekeliling tanpa tahu satu fokus. Melihat perjuangan sang perempuan tua
di sampingku ini membuat aku mengerti bahwa hidup memang harus memiliki
rencana-rencana yang begitu banyak. Alternatif yang begitu banyak. Lalu rencana
dan alternatif tersebut bisa dilakukan bersamaan ketika waktu tak berpihak.[] Prav
NB: A story
motivation for my life
Komentar
Posting Komentar