Langsung ke konten utama

Waktu Tak Berpihak

Sebuah perjalanan membutuhkan saatnya berhenti untuk berpikir sejenak dan memilih keputusan yang tepat. 
Ribuan karbon monoksida tak terhitung menerpa wajahku. Entah akan sepekat apa ketika tissue membersihkan wajah ini. Kaki tidak tahu sudah berjalan sejauh mana hanya untuk memikirkan keputusan yang harus kuambil. Semoga tak ada seseorang menyapa dan tak ada seseorang yang mengenalku. Kali ini aku masih tidak berselera diganggu oleh siapa pun. Aku masih harus memikirkan hal masa depan.

Seseorang menabrak pundakku ketika mobil angkutan sudah berhenti tepat di depanku. Halte ini tak pernah sepi, pemberhentian kendaraan umum sekarang sudah teratur, sehingga tidak ada lagi kemacetan. Karyawan kantor tidak lagi berdesak-desakan di jalan, tidak lagi harus merapikan diri kembali setelah turun dari kereta. Pemimpin perusahaan tidak lagi melihat keterlambatan karyawan karena alasan macet, menunggu kereta, dan hal-hal lain di jalan.

Aku menyapu jalanan sekitar, para karyawan kantor masih terlihat rapi dengan kemeja dan celana bahannya. Mereka siap bertemu banyak orang, dengan klien kerja yang mempunyai pemikiran sama, bercakap tentang bisnis mereka, mengandalkan keahlian berbicara, mengemukakan pikiran, dan membicarakan isu-isu terkini.

Ketika masih berada di bangku kuliah, aku melihat masa depanku akan seperti mereka. Namun, semua itu ternyata pandangan semu. Mengambil jurusan hebat di salah satu Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di Indonesia memang mengangkat namaku. Desain mode. Namun, pendidikan hanya sekadar angka-angka saja. Kemampuan begitu kosong. Persaingan yang kini mendunia, angka selangit di atas kertas, tak lagi menjadi bahan pertimbangan sebagai prioritas utama.

Aku mendapat nilai di atas rata-rata, tetapi hidupku tetap begini-begini saja, tak pernah berubah. Aku menginginkan bekerja di butik terkenal, dengan keseharian menggores pensil dan membentuk busana-busana casual nun indah. Tapi harapan itu nihil.

Setelah kelulusanku, ayah meninggalkan kami dan ibu mengacaukan segalanya. Lari dengan laki-laki lain. Suaminya yang hebat, mampu membuat namanya dikenal banyak orang. Mulanya, perempuan yang sudah melahirkan aku dan Risa itu datang setiap seminggu sekali, lalu dua minggu sekali, kemudian sebulan sekali, dan semakin sibuk untuk menemani suami barunya, ia hanya datang tiga bulan sekali. Rasanya ingin membunuh perempuan itu ketika datang menemui kami. Namun, aku masih mengingat bahwa dia pernah melahirkanku.
***
Surat berlogo resmi dan bertanda tangan kepala sekolah Risa kembali mendarat di meja. Tiga bulan keterlambatan. Ironis memang, surat lamaran pekerjaanku tidak pernah mendapat jawaban. Aku mengakui, bahwa riwayat hidup itu tidak menjual, tidak ada pengalaman tertulis. Pernah aku mendapat panggilan wawancara pekerjaan dan aku datang dengan persiapan matang. Namun, kekecewaan yang kudapat, “Tanganmu masih halus, tak pernah kerja kau? Apa pengalamanmu?” Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, aku memang tak pernah mencoba mendesain untuk menghasilkan produk bernilai jual. Aku mendesain karena tuntutan tugas perkuliahan, aku seperti robot, selalu mau melakukan pekerjaan yang tidak menguntungkan diriku sendiri.

“Desainmu bagus, tapi maaf. Kami hanya menerima penjahit jaket saja. Di sini karyawan bekerja dua minggu sebelum musim dingin, jika kau berminat bisa datang lagi.” Kata pemilik toko yang iklan lowongannya aku dapatkan dari tempelan kertas di halte bus.

Apa dunia sekarang seperti ini? Entahlah. Setiap pekerjaan disesuaikan dengan keadaan sekitar. Mungkin mereka juga meminimalisir pembayaran gaji pegawai.

Aku merasa tenggorokan kering memikirkan hal itu. Aku berjalan menuju minimarket untuk membeli sebotol air mineral. Belum sempat memutar tutup botol, ada suara yang membuat wajahku harus berpaling padanya.

“Bisa bantu aku membawakan sebagian barang ini ke halte itu saja?” katanya

Aku menelusuri barang bawaannya, sebuah kotak berwarna coklat tertutup rapi yang dimaksud. Kuapit botol minuman tadi ke sela-sela lekukan tangan dan mengangkat kotak itu. Tinggal tiga langkah saja botol yang kuapit merosot dan lengan tangan tak bisa mengendalikan hingga kotak itu terjatuh dan semua isinya berserakan.

“Maafkan aku, akan kurapikan.”

“Tidak perlu khawatir, semua isinya tidak mudah pecah. Hanya alat lukis saja.”

“Bapak suka melukis? Atau hobi?” kulontarkan pertanyaan sembari memunguti satu persatu alat-alat itu.

“Saya hobi melukis sejak kecil. Sudah menghasilkan beberapa lukisan, tetapi tidak laku saat saya jual,” ujarnya dengan suara melemah “Kata mereka lukisan saya kurang bercerita, kurang bisa membuat seseorang tertarik, setelah itu saya berhenti melukis. Hari ini saya ingin memulai kembali agar mimpi itu menjadi kenyataan,” ia mengambil nafas panjang.

“Pernah saya bermimpi bisa memajang semua lukisan karya saya sendiri di galeri dan saya yang menggunting pita pembukaan pameran. Namun, semua itu tak pernah terjadi. Saya sadar bahwa harapan hanya mimpi jika tak diiringi usaha yang lebih keras. Mimpi hanya bunga tidur dan saya berusaha bangun untuk menjadikan mimpi tersebut terlihat di depan mata. Akhirnya saya mengganti mimpi dengan rencana dan impian,” ujarnya. Ia diam, menatap kosong. Kemudian menghela nafas panjang dan melanjutkan lagi “Saya yang sudah berusaha sekuat ini pun belum bisa terwujud, padahal umur saya sudah tidak muda lagi. Bagaimana mereka yang hanya bermimpi, tetapi tidak mau melangkah, katanya takut risiko, ya risiko itulah yang harus didekati untuk bisa mendapatkan apa yang ada di balik risiko-risiko tersebut,” ia kembali diam, kepala didongakkan dan matanya melihat kosong pada langit disiang bolong begini.

“Kau pernah mempunyai teman yang tak pernah menceritakan impiannya?” Ia kembali berbicara setelah beberapa detik hening. Kotak itu sudah rapi dan kuletakkan di samping kakinya “Ia bukan tertutup, tetapi ia berusaha mengurangi obrolan orang-orang di sekitar tentang rencananya itu,” Ia kembali diam. Aku merasa seseorang di sampingku ini seperti masih mengingat kembali masa-masa hidup yang tampak mengecewakan. “Jika bisa diam mengapa harus berbicara?” Lanjutnya.

Aku merasa tersindir. Aku mengalami semua itu. Mengkoar-koarkan rencana, mimpi, dan impian dengan begitu antusias, dengan begitu semangat. Namun, memang usahaku tak pernah ada, akhirnya entah impian itu ke mana.  Dengan banyaknya teman yang mengetahui semua mimpiku dulu, membuat mereka terus-terusan menanyakan sudah sampai mana, bagaimana, dan apa yang sekarang kau lakukan. Hingga sekarang, pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab tersebut terus datang. Semua itu terlalu memuakan. Rasanya aku ingin beralih karier. Terkadang aku berpikir, mengapa aku tidak dilahirkan dari keluarga yang sudah memiliki suatu usaha besar saja. Aku tinggal melanjutkan untuk mengelolahnya. Mendapatkan semua warisannya setelah semua tetuah sudah tak ada lagi.

“Hidup ini memang tak tahu siapa yang berharap siapa yang berjuang dan yang mampu mencapai impiannya. Kadang meniru, kadang juga karena ingin menandinginya, entah memang tertarik atau sekadar hanya ingin menyaingi saja. Banyak sekali yang seperti itu,” ujar Bapak itu kembali.

Aku mengerti maksudnya. Aku seperti dalam lingkaran itu. Aku tak mau berpindah-pindah pekerjaan, mengajukan lamaran pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain. Jika aku menerima tawaran bekerja di toko jaket, aku harus mencari sampingan lain pada musim dingin. Aku takut keluar dari zona nyaman, aku takut gagal dengan percobaan-percobaan yang tak kunjung usai. Namun, tanggungan yang kuterima semakin ke sini semakin besar.

Pria di sampingku tak lagi berbicara. Ia tergesa-gesa karena bus tujuannya sudah berada di depanku. Membawa semua barangnya dan ia pergi dengan meninggalkan senyuman terima kasih.

Pria yang sudah hampir memasuki usia tua saja masih mau berusaha untuk mengejar rencananya. Aku tak pernah berpikir bagaimana membuat rencana B jika rencana A gagal. Sekarang aku tahu, bahwa tak semua rencana A akan selalu berhasil. Aku memperhatikan langkah-langkah orang lalu lalang di jalan kota seperti ini. Mungkin sebagian besar mereka telah membuat rencana A dan B, atau bahkan C dan D. Sedikit dari mereka yang mengendalkan rencana A saja, sama sepertiku.

Perhatianku pada mereka beralih di langit siang ini, langkah oarng-orang semakin cepat. Semakin cepat dan cepat, kemudian hujan. Seketika halte dipenuhi dengan orang-orang yang membuka payung mereka dan menunggu hujan itu sedikit reda. Aku merasakan aroma tanah panas yang terguyur air, sungguh membuatku tenang. Aku menyukai ini, aku menyukai aroma tanah panas dengan siraman air hujan.

Satu dari banyaknya orang, terlihat seorang nenek mendekap tentengannya. Ia terlihat masih kuat berjalan jauh.

“Payung, payung,” katanya menawarkan dagangan itu pada orang-orang di halte. Beberapa orang mencoba mendekati dan membeli payung tersebut, beberapa orang memilih menunggu hujan reda.
 
Nenek itu sama sepertiku, jika aku memilih pekerjaan di toko jaket. Harus berjualan di musim hujan saja, selebihnya entah akan mendapatkan uang dari mana. Setelah orang-orang itu tak lagi mendekatinya untuk membeli payung, ia duduk di sampingku.

“Payung Neng,” tawarnya padaku

“Tidak Nek,”

“Mau kemana memangnya Neng?”

Aku diam. Aku bingung untuk menjawab apa. Aku masih belum tahu harus ke mana. Tak mendapat jawabanku, ia melihatku dan sedikit mengangkatkan alisnya memastikan bahwa aku mendengarnya. Seketika aku hanya menggelengkan kepala untuk menjawabnya.

“Nenek menjual payung ketika masa hujan saja?” Kataku memecahkan keheningan yang beberapa detik tadi terjadi.

“Ya, tapi saya juga punya sampingan. Di musim panas saya menjual air mineral. Tapi setiap hari saya bawa kedua dagangan ini. Cuaca tidak dapat diprediksi Nak. Jika saya hanya membawa satu saja, pulang saya tidak akan mendapatkan uang, kalau cuaca itu tiba-tiba berbeda,” ia berhenti sejenak untuk meletakkan payung-payung dan air mineral dagangannya ke bawah dekat kakinya. “Namun, penghasilan terbanyak saja, ya jualan payung, uang yang saya dapat lebih banyak. Kalau air, mereka biasanya sudah persiapan sendiri dari rumah. Kadang saya hanya menginginkan musim hujan saja, jadi saya bisa membawa uang lebih banyak.”

“Zaman sekarang sudah sulit Nak untuk mendapatkan uang. Mereka sudah banyak yang ikut dengan orang luar. Menjadi karyawan di perusahaan asing. Pemerintah tidak menyediakan lahan pekerjaan untuk orang-orang seperti saya ini. Orang yang tak punya dana untuk mencari pendidikan, mana bisa mendapakan uang jika tidak seperti ini Nak. Kalau dilihat sekarang ini pendidikan juga kacau balau. Tidak meratalah, infrastrukturnya jeleklah, kemampuan para pengajar masih dirasa kuranglah, hingga kekacauan kurikulum menjadi harus maju mundur lagi.”

“Setiap perusahaan, sekarang bukan hanya mempertimbangkan nilai saja Nek. Mereka menomor satukan kemampuan. Sedangkan pendidikan hanya nilai saja yang menjadi kunci utama kelulusan. Orang-orang seperti saya yang tak punya kemampuan lebih menjadi susah mendapatkan pekerjaan,” kataku.

“Benar dugaanku. Kamu masih bimbang dengan pekerjaan. Mau bekerja sebagai apa kamu?”

“Saya tidak diterima di setiap perusahaan fashion. Menurut mereka nilaiku memang bagus, tetapi tidak ada pengalaman. Saya diterima di toko jaket, tetapi harus bekerja dua minggu sebelum musim dingin saja. Sedangkan saya harus membayar biaya bulanan sekolah adik saya.”

“Kau pandai merancang baju?” Aku mengangguk “Mungkin belum sehebat, mereka yang sudah malang melintang, sehingga mereka mengatakan bahwa pengalamanmu tidak ada,” ia menarik nafas panjang “Aku benci dengan mereka yang selalu menanyakan pengalaman. Untuk orang-orang yang baru saja lulus pendidikan belum tentu mempunyai banyak pengalaman.” Aku tak menjawab.

“Kau ambil saja Nak. Di sana bisa sembari belajar, carilah sampingan dan ambil pengalamannya. Pasti suatu saat nanti kau akan seperti mereka-mereka yang rapi dengan kemeja, celana bahan, dan sepatu pantofelnya. Waktunya memang panjang, tetapi lakukanlah dan jangan takut untuk keluar dari zona nyaman.”

Kami diam. Tak ada lagi bicara, tak ada lagi obrolan. Aku melihat sekeliling tanpa tahu satu fokus. Melihat perjuangan sang perempuan tua di sampingku ini membuat aku mengerti bahwa hidup memang harus memiliki rencana-rencana yang begitu banyak. Alternatif yang begitu banyak. Lalu rencana dan alternatif tersebut bisa dilakukan bersamaan ketika waktu tak berpihak.[] Prav


NB: A story motivation for my life

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Salah Masuk Labirin

LEPASKAN rasa ini dan fokus pada tujuanku. Hilangkan rasa ini dan anggap seperti kau dan aku teman. Aku berusaha sewajarnya, tetapi kau memancingku dengan semua yang aku suka. Musik, gambar, typografi, photo, dan coffee . Lebih jauh mengenalmu membuatku takut. Aku takut kehilanganmu sebagai teman diskusi, sebagai teman yang membantuku untuk melatih kemampuanku mengenal kopi. Kemampuan membuat lidah lebih peka dengan citarasa kopi dan kemampuan untuk kembali menulis. [Jkt, 25/10’15 : 21.08] Aku merasa yang aku alami selama ini ialah sebuah mimpi. Semua hal-hal menakjubkan datang begitu saja. Semua ini berpengaruh positif pada diriku. Ketika berimajinasi mengenai kisah ajaib, aku menanyakan pada diri sendiri. Apakah aku sedang koma? Lalu, hal-hal yang terjadi selama ini ialah mimpi di dalam komaku. Jika, ya, aku yakin akan menyesal ketika sadar. Namun, jika aku ditakdirkan untuk bangun lagi, aku pasti akan mengingat kisah mengesankan itu dan akan mempunyai semangat hidup yang l...

Resensi: Catatan Juang, Membuat Seseorang Berani Bertindak

Photo by Prajna Vita Judul: Catatan Juang Penulis: Fiersa Besari Penerbit: Media Kita Cetakan: Pertama, 2017 Tebal: vi + 306 hal ISBN: 978-797-794-549-7 “Seseorang yang akan menemani setiap langkahmu dengan satu kebaikan kecil setiap harinya”, tertanda Juang. PERNAH terinspirasi dari seseorang? Inspirasi bisa datang dari mana saja. Dari orang, film, karya seni, hal-hal sekitar, lagu, musik, atau bahkan tulisan. Namun, bagaimana jika terinspirasi dari sebuah barang kepunyaan seseorang yang belum dikenal dan mampu mengubah dunia? Apakah itu sebuah Konspirasi Alam Semesta? Ya, karena semesta yang mendukung apa yang akan terjadi. Seperti halnya, semesta akan membawamu pada zona nyaman atau tidak, begitupun sebaliknya, akan membawamu keluar dari zona nyaman atau tidak. Kita juga tidak pernah salah keluar dari zona nyaman apabila semesta mendukung. Setiap konspirasi mungkin akan menyulitnya dan kau sendirilah yang akan tahu seberapa besar kau bisa menggapainya....

Perjalanan dalam Misi Mencicipi Kuliner Lokal dan Bagaimana Kuliner Mendominasi Kehidupan

Aruna & Lidahnya Laksmi Pamuntjak Gramedia November 2014 (Cetakan Pertama) 432 Halaman 978-602-03-0852-4 Rp 78.000,- Sebuah novel tentang makanan, perjalanan, dan konspirasi. Laksmi Pamuntjak mampu menyuguhkan karya fiksi yang mengaitkan kuliner dengan konsep kehidupan. Dalam kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota di Indonesia, Aruna yang bekerja sebagai konsultan epidemiologi atau disebut “Ahli Wabah” ditugaskan melakukan penelitian. Dalam kesempatan penelitian itu Aruna bersama dua karibnya, Bono dan Nadezhda yang terobsesi terhadap makanan memanfaatkan perjalanannya untuk menikmati kuliner lokal. Dalam misi pencicipan cita rasa makanan bukan hanya mengetahui makanan secara umum, tetapi bagaimana makanan telah mendominasi kehidupan. Konsep kehidupan seperti realita sosial, politik, agama, dan sejarah yang tak hanya berkaitan dengan kolusi, korupsi, konspirasi, dan misinformasi, tetapi juga menyatukan cinta dan pertemanan. Cara...