Langsung ke konten utama

Mutlak Keseimbangan Atau Memiliki Perbandingan

Deru kereta api melaju cepat melewati setasiun demi stasiun. Mendekati stasiun transit di Manggarai, kereta mulai melambat. Kereta mulai berhenti dengan kecepatan rendah. Potret terlihat dari jendela kereta sebelah kanan membuatku bertanya dan menjawabnya sendiri.

Pekerja pemotong besi. Bukan karena pekerjaannya yang hanya bisa menghasilkan uang sedikit. Bukan karena kerasnya tanah Jakarta. Bukan hanya karena usia yang tidak layak lagi. Pekerja pemotong besi, dengan menahan bunga api yang mampu mendekati kulit dan merusak matanya merupakan salah satu risiko.

Aku tak mempermasalahkannya, hanya saja, aku membalikkan pada diriku sendiri. Semua memang membutuhkan teori, memahaminya memerlukan otak kanan. Namun, tanpa disadari setiap orang menggunakan kedua otak mereka dengan dominasi yang berbeda. Kecuali untuk anak-anak yang sekarang sudah melatih otak tengahnya agar dapat bekerja.

Memotong besi memerlukan ketepatan perhitungan di sini. Bukan hanya membuat potongan tampak rapi dan terlihat indah dengan gabungan potongan lain nantinya. Bukan otak kiri saja yang diperlukan untuk bekerja di sini, tetapi juga otak kanan untuk menentukan bentuk seperti apa.

Tanpa disadari kedua otak tersebut memang berjalan bersamaan. Namun, sampai saat ini, aku menyadari bahwa aku belum mampu memanfaatkan otak kiriku. Malas berpikir kompleks merupakan salah satu faktor ketumpulan tersebut. Memilih kemudahan dan menghindari risiko. Memilih jalan lain yang lebih mudah tanpa memikirkan dampak negatif yang akan terjadi di belakang.


Fleksibilitas memang diperlukan, tetapi keseimbangan menjadi bentuk kesempurnaan.[]Prav     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coffee Time: Sebuah Rasa

Photo by, Prajna Farravita Kata apa yang tepat untuk menerjemahkan kompleksitas rasa? Bukan perasaan, tetapi rasa kopi. Bukankah keduanya juga berhubungan? Oh iya, memang keduanya berhubungan sangat erat. Pernah disinggung bahwa kopi perihal candu yang bikin rindu. Ya, rasa kopi memang mencandu dan merindukan. Merindukan pada momen tentunya. Rasa pada sebuah kopi tidak bisa terdeteksi tanpa ada perasaan. Perasaanlah yang mampu menerjemahkan rasa kopi. Terkadang perasaan juga mampu menerjemahkan rasa selain kopi. Rasa rindu. Bisa jadi rindu terhadap kenangan. Saat ini, yang kutahu hidupku berubah. Sebuah rasa yang dulu memang sudah berlalu, tetapi belum sepenuhnya hilang. Pada sebuah labirin itu aku berkutik mencari celah untuk keluar. Ya, aku memang bisa. Lalu, labirin itu kutinggalkan karena aku tidak mau menjadi konflik pada kebahagiaan orang yang pernah kusayangi. Sebuah rasa itu pertama kali kupunyai dan pertama kali pula membuatku kecewa. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya tanp

Tidak Mempunyai Rencana Menetap di Satu Kota, Sewa Rumah Menjadi Pilihan

Anda seorang profesional muda? Pasti masih menginginkan pengembangkan kemampuan yang lebih tinggi lagi. Perpindahan dari satu kota ke kota lain kerap terbesit. Mencari pengalaman ke daerah lain memang cara terbaik agar mendapat apa yang diinginkan. Apalagi untuk seseorang yang harus berpindah ke luar negeri untuk melanjutkan studi atau bekerja. Perlu diketahui juga, bahwa berpindah dari satu kota ke kota lain atau dari satu negara ke negara lain bukan hanya mendapatkan pengalaman, tetapi menemukan beragam kehidupan lain. Apabila Anda mempunyai perencanaan seperti itu, lalu bagaimana Anda tinggal di daerah pilihan Anda? Tidak dipungkiri, setiap orang menginginkan tempat tinggal tetap untuk masa depan. Perencanaan tersebut merupakan salah satu nilai kemapanan dalam kehidupan mendatang. Namun, jika Anda seorang profesional muda dan tidak berencana menetap di suatu daerah serta menginginkan pengalaman yang terus baru, pasti tidak mempunyai perencanaan matang untuk investasi berupa ruma

Berbisik pada Bumi Agar Didengar Oleh Langit

Aku tidak tahu mengapa aku ingin membisikkan pada bumi agar didengar oleh langit.   Mungkin, pada hari itu aku sedikit takut membicarakan langsung pada langit. Maka, kubisikkan ke bumi terlebih dahulu, agar langit tahu perlahan. Aku tidak ingin kebahagiaan ini aku rasakan sendiri. Aku ingin berterima kasih pada-Nya melalui celah-celah indra yang kurasakan ketika aku mengingat-Nya. Melalui hujan yang menyapa bumi, aku bisikkan pada titik air hujan yang menempel pada kaca agar disampaikan ke bumi. Bahwa, aku di sini, yang terus meminta, agar aku menjadi orang yang dicari oleh orang yang aku cari. Pada tanggal satu yang dikuti empat, pada dua belas bulan dalam setahun berhenti di angka dua, pada tahun dua kosong satu enam, dan pada waktu sepertiga malam, tulisan itu mengalir pada senja, pukul tujuh belas di menit ke lima, satu prosa mengalir saat ditemani sapaan langit terhadap bumi.  Aku telah menemukan hamba-Nya yang membuatku lebih dekat dengan-Nya, hamba-Nya yang menyadarka