Deru kereta api melaju cepat melewati
setasiun demi stasiun. Mendekati stasiun transit di Manggarai, kereta mulai
melambat. Kereta mulai berhenti dengan kecepatan rendah. Potret terlihat dari
jendela kereta sebelah kanan membuatku bertanya dan menjawabnya sendiri.
Pekerja pemotong besi. Bukan karena
pekerjaannya yang hanya bisa menghasilkan uang sedikit. Bukan karena kerasnya
tanah Jakarta. Bukan hanya karena usia yang tidak layak lagi. Pekerja pemotong
besi, dengan menahan bunga api yang mampu mendekati kulit dan merusak matanya
merupakan salah satu risiko.
Aku tak mempermasalahkannya, hanya
saja, aku membalikkan pada diriku sendiri. Semua memang membutuhkan teori,
memahaminya memerlukan otak kanan. Namun, tanpa disadari setiap orang
menggunakan kedua otak mereka dengan dominasi yang berbeda. Kecuali untuk
anak-anak yang sekarang sudah melatih otak tengahnya agar dapat bekerja.
Memotong besi memerlukan ketepatan
perhitungan di sini. Bukan hanya membuat potongan tampak rapi dan terlihat
indah dengan gabungan potongan lain nantinya. Bukan otak kiri saja yang
diperlukan untuk bekerja di sini, tetapi juga otak kanan untuk menentukan
bentuk seperti apa.
Tanpa disadari kedua otak tersebut
memang berjalan bersamaan. Namun, sampai saat ini, aku menyadari bahwa aku
belum mampu memanfaatkan otak kiriku. Malas berpikir kompleks merupakan salah
satu faktor ketumpulan tersebut. Memilih kemudahan dan menghindari risiko.
Memilih jalan lain yang lebih mudah tanpa memikirkan dampak negatif yang akan
terjadi di belakang.
Fleksibilitas memang diperlukan,
tetapi keseimbangan menjadi bentuk kesempurnaan.[]Prav
Komentar
Posting Komentar