Langsung ke konten utama

Aku Yang Bermonolog


Tenggorokkanku tercekik. Jangan tanyakan mengapa, karena aku tak sanggup berbicara.

Buat Seninku agar berjalan lebih cepat karena aku tak mau lagi mendengar celotehan masa lampau. Seakan aku yang salah. Aku mempunyai alasan mengapa tak bisa menghadirinya dan jangan tanyakan apa alasannya, karena aku tak bisa mengatakan secara runtut. Maaf, aku masih tidak berselera untuk menahan sakit di tenggorokkan yang akan semakin mencekik.

Sangat sakit, tetapi tak bisa dikeluarkan. Tak mudah menemukan tempat untuk mengeluarkan semua ini.

Membawa ke sana-ke sini. Sebuah cindera mata yang sudah dipersiapkan dari hari Senin.

“Ke mana orang yang bisa mensenyumiku?” Katanya tanpa beralih. Tetap statis. Maaf, aku hanya bermonolog pada kotak yang masih bersamaku.

“Mengapa kau menangis? Menangislah. Aku tak akan menahanmu. Biarkan perlahan tangisan itu melonggarkan tenggorokkanmu,” katanya. Sekali lagi, maaf, karena aku hanya bermonolog.

“Kau lihat bungkusan di stoples itu? Ambil dan seduhlah. Rasakan aromanya. Nikmati keajaiban rasanya. Renungkan hidupmu ketika kau menahannya lebih lama di mulut. Dan, luputlah dengan duniamu. Bersama pena dan kertas itu. Mereka sudah menunggumu. Sudah dua hari kau tidak membukanya, bukan?” Lanjutnya lagi. Maaf, masih dengan aku yang bermonolog.

“Kau tersenyum. Aku menyukainya. Simpan aku. Masukkan aku jauh ke kolong kursi. Maka, kau tidak lagi melihatku. Kau tidak akan mengingat kekesalanmu itu. Bawa aku pada hari di mana ingin kau temukan pemilikku sebagai kenangan di hari lahir mereka,” ujarnya, tetap aku yang bermonolog.

“Sekarang kau bahagia, bukan? Begitu sederhanya cairan hitam nan pahit itu meninggalkan kemanisan alami yang tidak berlebihan. Biarkan sisa aromanya memenuhi ruangan dan kau luput dengan duniamu,” katanya. Masih aku yang bermonolog.[]Prav


"Bahagia itu sederhana. Ia bisa membuat sesederhananya kebahagiaan."


Jakarta, 8 Desember 2015
14.38

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coffee Time: Sebuah Rasa

Photo by, Prajna Farravita Kata apa yang tepat untuk menerjemahkan kompleksitas rasa? Bukan perasaan, tetapi rasa kopi. Bukankah keduanya juga berhubungan? Oh iya, memang keduanya berhubungan sangat erat. Pernah disinggung bahwa kopi perihal candu yang bikin rindu. Ya, rasa kopi memang mencandu dan merindukan. Merindukan pada momen tentunya. Rasa pada sebuah kopi tidak bisa terdeteksi tanpa ada perasaan. Perasaanlah yang mampu menerjemahkan rasa kopi. Terkadang perasaan juga mampu menerjemahkan rasa selain kopi. Rasa rindu. Bisa jadi rindu terhadap kenangan. Saat ini, yang kutahu hidupku berubah. Sebuah rasa yang dulu memang sudah berlalu, tetapi belum sepenuhnya hilang. Pada sebuah labirin itu aku berkutik mencari celah untuk keluar. Ya, aku memang bisa. Lalu, labirin itu kutinggalkan karena aku tidak mau menjadi konflik pada kebahagiaan orang yang pernah kusayangi. Sebuah rasa itu pertama kali kupunyai dan pertama kali pula membuatku kecewa. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya tanp

Tidak Mempunyai Rencana Menetap di Satu Kota, Sewa Rumah Menjadi Pilihan

Anda seorang profesional muda? Pasti masih menginginkan pengembangkan kemampuan yang lebih tinggi lagi. Perpindahan dari satu kota ke kota lain kerap terbesit. Mencari pengalaman ke daerah lain memang cara terbaik agar mendapat apa yang diinginkan. Apalagi untuk seseorang yang harus berpindah ke luar negeri untuk melanjutkan studi atau bekerja. Perlu diketahui juga, bahwa berpindah dari satu kota ke kota lain atau dari satu negara ke negara lain bukan hanya mendapatkan pengalaman, tetapi menemukan beragam kehidupan lain. Apabila Anda mempunyai perencanaan seperti itu, lalu bagaimana Anda tinggal di daerah pilihan Anda? Tidak dipungkiri, setiap orang menginginkan tempat tinggal tetap untuk masa depan. Perencanaan tersebut merupakan salah satu nilai kemapanan dalam kehidupan mendatang. Namun, jika Anda seorang profesional muda dan tidak berencana menetap di suatu daerah serta menginginkan pengalaman yang terus baru, pasti tidak mempunyai perencanaan matang untuk investasi berupa ruma

Berbisik pada Bumi Agar Didengar Oleh Langit

Aku tidak tahu mengapa aku ingin membisikkan pada bumi agar didengar oleh langit.   Mungkin, pada hari itu aku sedikit takut membicarakan langsung pada langit. Maka, kubisikkan ke bumi terlebih dahulu, agar langit tahu perlahan. Aku tidak ingin kebahagiaan ini aku rasakan sendiri. Aku ingin berterima kasih pada-Nya melalui celah-celah indra yang kurasakan ketika aku mengingat-Nya. Melalui hujan yang menyapa bumi, aku bisikkan pada titik air hujan yang menempel pada kaca agar disampaikan ke bumi. Bahwa, aku di sini, yang terus meminta, agar aku menjadi orang yang dicari oleh orang yang aku cari. Pada tanggal satu yang dikuti empat, pada dua belas bulan dalam setahun berhenti di angka dua, pada tahun dua kosong satu enam, dan pada waktu sepertiga malam, tulisan itu mengalir pada senja, pukul tujuh belas di menit ke lima, satu prosa mengalir saat ditemani sapaan langit terhadap bumi.  Aku telah menemukan hamba-Nya yang membuatku lebih dekat dengan-Nya, hamba-Nya yang menyadarka