Tenggorokkanku tercekik. Jangan
tanyakan mengapa, karena aku tak sanggup berbicara.
Buat Seninku agar berjalan lebih
cepat karena aku tak mau lagi mendengar celotehan masa lampau. Seakan aku yang
salah. Aku mempunyai alasan mengapa tak bisa menghadirinya dan jangan tanyakan
apa alasannya, karena aku tak bisa mengatakan secara runtut. Maaf, aku masih
tidak berselera untuk menahan sakit di tenggorokkan yang akan semakin mencekik.
Sangat sakit, tetapi tak bisa
dikeluarkan. Tak mudah menemukan tempat untuk mengeluarkan semua ini.
Membawa ke sana-ke sini. Sebuah
cindera mata yang sudah dipersiapkan dari hari Senin.
“Ke mana orang yang bisa
mensenyumiku?” Katanya tanpa beralih. Tetap statis. Maaf, aku hanya bermonolog
pada kotak yang masih bersamaku.
“Mengapa kau menangis?
Menangislah. Aku tak akan menahanmu. Biarkan perlahan tangisan itu melonggarkan
tenggorokkanmu,” katanya. Sekali lagi, maaf, karena aku hanya bermonolog.
“Kau lihat bungkusan di stoples
itu? Ambil dan seduhlah. Rasakan aromanya. Nikmati keajaiban rasanya. Renungkan
hidupmu ketika kau menahannya lebih lama di mulut. Dan, luputlah dengan
duniamu. Bersama pena dan kertas itu. Mereka sudah menunggumu. Sudah dua hari
kau tidak membukanya, bukan?” Lanjutnya lagi. Maaf, masih dengan aku yang
bermonolog.
“Kau tersenyum. Aku menyukainya.
Simpan aku. Masukkan aku jauh ke kolong kursi. Maka, kau tidak lagi melihatku.
Kau tidak akan mengingat kekesalanmu itu. Bawa aku pada hari di mana ingin kau
temukan pemilikku sebagai kenangan di hari lahir mereka,” ujarnya, tetap aku
yang bermonolog.
“Sekarang kau bahagia, bukan?
Begitu sederhanya cairan hitam nan pahit itu meninggalkan kemanisan alami yang
tidak berlebihan. Biarkan sisa aromanya memenuhi ruangan dan kau luput dengan
duniamu,” katanya. Masih aku yang bermonolog.[]Prav
"Bahagia itu sederhana. Ia bisa
membuat sesederhananya kebahagiaan."
Jakarta, 8 Desember 2015
14.38
Komentar
Posting Komentar