Photo, Muhammad N.G |
Putaran air yang jatuh ke paper filter Hario V60 berhenti seketika
ketika mataku melihat seseorang yang tidak asing. Pria itu datang kembali
setelah satu minggu tidak mengisi meja di pojok dekat jendela. Kali ini ia
memakai kemeja biru dongker dengan lengan yang digulung sampai ke siku, aku
menyukai kekhasaannya itu. Ia mengusap-usap rambutnya yang basah, membuat mataku
melirik pintu masuk. Hujan tampak lebat, tak heran ia datang hanya untuk
menghabiskan waktu bersama kopi yang sama.
“Malabar menggunakan chemex,” katanya. Aku mengangguk
mengerti. Tak pernah memesan jenis kopi lain, ia hanya mengubah jenis
seduhannya. Aku rasa ia ingin mencari karakteristik rasa yang dihasilkan dari
seduhan manual berbeda. Sikapnya begitu dingin. Ia datang memesan, duduk,
meminum kopinya, lalu memuji seduhanku sebelum meninggalkan kedai. Terkadang
pujiannya membuatku tak berhenti tersenyum.
Aku masih memandang
punggungnya yang berjalan menuju meja dekat jendela setelah mengatakan
pesanannya. Mungkin di sana tempat yang tepat baginya untuk menikmati kopi dan
merekam pemandangan luar dari kamera yang selalu ia bawa. Sesekali aku melihat ia
mengarahkan kameranya ke bagian dalam kedai, khususnya dapur bar. Sikapnya
begitu dingin sampai aku tak pernah berani menyapa dan basa-basi kepadanya.
Aku tidak tahu persis
kapan aku ingin terus memerhatikannya. Mungkin ketertarikan ini muncul ketika
dawai petikan gitar yang ia mainkan mampu mensunyikan kedai. Waktu malam
pergantian tahun, hujan deras mengguyur kota Jakarta dan membuat kedai mendadak
ramai. Saat itu, ia mengisi musik di kedai dan petikannya mampu menghentikan
obrolan pengunjung. Rasanya aku ingin bercerita tentangnya kepada diriku
sendiri jika mengingat momen itu. Sambil aku menyeduh kopi pesanannya, pandanganku
sesekali tertuju padanya.
***
Kau tahu, aku rasa
seduhan kopi yang aku lakukan untukmu berbeda. Aku selalu menemukan perasaan
yang khas ketika menyeduh kopimu. Aku merasakan, kopimu yang aku seduh
memunculkan karaktersitik rasa yang kompleks. Terkadang aku sendiri bingung
dengan rasio seduhan yang sama tetapi rasa yang ditimbulkan berbeda. Sebelum
aku berani menyeduh kopi untukmu, aku selalu mendapat teguran karena kopi seduhanku
selalu tidak enak. Banyak pelanggan yang mengeluh, kopinya terlalu pahit lah,
terlalu asam lah, mengapa rasa manisnya tak muncul lah. Aku tak mampu
menghasilkan rasa manis dari setiap kopi yang aku seduh. Terkadang aku benci
terhadap diriku sendiri karena aku belum bisa menyampaikan rasa kopi pada
mereka.
Waktu itu, aku masih
menyalahkan diriku sendiri dan merasa diriku tak berguna berada di dapur bar.
Lalu, aku mendengar petikan gitar yang berasal dari jari-jarimu dan
menghentikan kebisingan kedai. Hanya ada suara dawai gitarmu dan gemuruh hujan,
tetapi hujan di luar sama sekali tidak mengganggu melodi petikanmu. Kau
memainkannya dengan tenang, lembut, dan penuh perasaan. Aku merasa melodi-melodi
itu menghaluskan perasaanku, mendiamkanku, aku melihat bagaimana diriku, aku
seperti terpanggil untuk mengenali siapa aku. Aku sadar, bahwa sebuah proses
menciptakan rasa ialah dimulai dari meluluhkan perasaan.
Sejak itu, duniaku
seperti hidup kembali. Aku menentukan rasio seduhan yang sama tetapi perasaan
hatiku berbeda. Sama seperti musik, tak pernah sembarangan untuk menghasilkan
nada agar terdengar indah. Sama seperti kopi, tidak sembarangan melakukan
penyeduhan untuk menyampaikan karakteristik rasa yang tersembunyi. Semua ini
butuh rasa, bukan hanya ketelatenan, tetapi juga bagaimana mengatur hati.
Aku akui bahwa dawai
musikmu mampu mengubah cara pandangku tentang kesalahan yang selama ini ada
pada diriku. Keburukanku terletak pada kontrol rasa, aku sulit menekan hatiku
untuk fokus dan mengejar tujuanku. Aku terlalu memikirkan ambisiku yang tak
pernah ada habisnya dan hasil seduhanku selalu saja buruk. Ketika aku mengingat
kembali nada alunan musikmu, seduhanku perlahan membaik. Aku selalu menunggu
kau memetikkan senar gitarmu ketika kau datang bersama teman-temanmu hanya
untuk bermain musik bersama.
Dawai gitar? Sampai
sekarang aku belum tahu siapa namamu. Sepertinya julukan ‘Dawai’ cocok untuk
aku ajukan kepadamu. Seperti suara dawai musikmu yang selalu membuatku
mengerti, bahwa menyeduh kopi juga membutuhkan rasa.
Dawai? Julukan yang menarik.
Kopi pesananmu yang aku seduh hari ini mungkin dapat mencari tahu siapa dirimu.
Aku tak mau melewatkan momen ini setelah satu minggu ini kau menghilang. Kini
hujan kembali hadir dan meja itu terisi kembali oleh pemiliknya. Mungkin bisa
aku katakan begitu. Aku manarik nafas panjang memberanikan diri melangkah. Aku
merasakan telapak tanganku basah oleh keringat. Aku mengelapnya di kain apron
yang kupakai agar tak begitu licin. Aku merasa langkahku kaku. Di depanmu, aku
mampu melihat wajahmu ketika kau masih menunduk. Jangan dulu kau melihatku
sampai aku meletakkan kopimu ini.
***
“Malabar,” kataku. Ia
masih diam dan terfokus pada layar kameranya. Aku menuangkan kopi pesanannya
dari chemex ke dalam cangkir. Masih
tak ada komentar darinya sampai kopi memenuhi cangkir. Aku bingung apa yang
akan aku katakan agar aku bisa di sini lebih lama sedikit, aku bingung dengan
kalimat basa-basi yang menurutku itu rumit. Aku menegakkan tubuhku dan dia
masih saja diam.
“Kopi Malabar dari
Jawa Barat ini memiliki rasa manis. Dengan rasio yang tepat dan menggunakan seduhan
manual, kompleksitas rasanya bisa muncul. Saya menggunakan rasio 7 gram biji
kopi dengan suhu air 87 derajat. Jika rasanya kurang muncul, bisa komplain pada
kami,” kataku kemudian untuk memecahkan keheningan. Aku berusaha menarik nafas
pendek dan cepat-cepat mengeluarkannya untuk menghilangkan ketegangan. Masih
tak ada tanggapan, sungguh dingin sikapnya, membuatku kehilangan nyali untuk
menanyakan pertanyaan tidak penting.
“Kompleksitas rasa
seperti apa yang bisa muncul dari kopi?” Tanyanya, membuatku mengurungkan
langkah berbalik untuk kembali ke dapur bar. Aku diam, begitu pun ia, sepertinya
ia menunggu jawaban dariku. “Baru kali ini kau mengatakan kalau kopi bisa
menghasilkan rasa yang kompleks, bahkan Kopi Malabar mampu memunculkan rasa
manis. Setahuku kopi hanya pahit, sudah itu saja,” lanjutnya karena tak kunjung
ada jawaban dariku.
“Ya. Sebenarnya kopi
mempunyai berbagai rasa yang bisa muncul. Karakteristik rasanya beragam dan para
penikmat kopi mencari cita rasa itu,” kataku. Aku semakin salah tingkah ketika
ia mendengarkan jawabanku. Lalu, ia mengetukkan jarinya di meja depannya,
pertanda mempersilahkanku duduk. Aku menggeser kursi lalu duduk di hadapannya. Ia
menggeser gadged dan mencicipi kopinya.
Matanya menyipit ketika kopi sudah memenuhi mulut, seperti sedang mendeteksi rasa.
“Rasa apa saja yang
bisa dihasilkan dari kopi?” Tanyanya kemudian setelah menelan kopinya.
“Banyak orang
menghakimi bahwa kopi hanya mempunyai rasa pahit. Sudah itu saja. Di sisi lain,
banyak orang yang tak bisa lepas dari kopi karena berbagai faktor pekerjaan,
agar bisa begadang semalaman sampai pekerjaan selesai misalnya. Lain halnya
dengan seniman, entah itu pemusik, pelukis, penulis, atau pekerjaan-pekerjaan
lain yang membutuhkan kreatifitas. Menurutku, mereka juga banyak yang terpaku
dengan kopi untuk menemukan ide-ide ceperlang mereka,” aku berhenti sejenak.
Aku seperti menemukan satu persepsi baru mengenai kopi. “Kopi berperan dalam
dunia seni. Tepat dikatakan bahwa kopi dapat berperan dalam aspek seni.
Faktanya seperti latte art, seni
melukis di atas kopi. Ya, itu fakta nyatanya. Sekarang banyak sekali
kreasi-kreasi latte art yang
dilakukan oleh para barista,” kataku.
“Aku suka latte art,” katanya.
“Ya, memang sebagian
besar orang yang datang ke kedai selalu menginginkan latte art yang bagus. Tapi, kau tahu? Aku merasa sedikit ganjal
tentang itu. Mereka menginginkan latte
art-nya saja ketika menikmati kopi, bukan mencari rasa. Padahal, rasa dari
secangkir kopi itu banyak, kompleks, beragam, menarik, dan banyak singel origine baru dari daerah
terpencil juga memiliki rasa yang baru. Semua itu kekayaan kopi nusantara dan
kopi-kopi dari Indonesia ini sebenarnya mempunyai peluang besar untuk mencapai internasional.
Indonesia kita ini kaya, padahal dari perihal kopi saja,” aku berhenti sejenak.
Ia masih mendengarkanku. “Namun, masih banyak social drinker yang memenuhi kedai, bukan mencari rasa dari kopi
pilihan mereka. Bagaimana rasio yang tepat untuk mendapatkan rasa yang
diinginkan,” aku diam sejenak sambil menarik nafas pendek.
“Padahal, banyak
kopi-kopi daerah yang memiliki rasa unik. Seperti Malabar ini, kopi dari Jawa
Barat umumnya memiliki rasa manis. Kopi daerah lain belum ada yang bisa
menandingi rasa manis dari kopi Jawa Barat. Lalu, untuk kopi dari Bali,
Kintamani misalnya, bisa menghasilkan rasa asam buah, kadang pedas cabai, ada
juga yang seperti bunga. Rasa-rasa semacam itu mampu muncul dengan menggunakan
seduhan yang tepat. Lalu, kau tahu. Ada juga kopi yang memiliki rasa blueberry,” lanjutku.
“Kenapa bisa
menghasilkan rasa yang berbeda seperti itu?” Tanyanya.
“Setiap daerah
memiliki rasa khasnya masing-masing, seperti Kopi Toraja, mempunyai rasa khas
rempah. Ada juga kopi dengan rasa seperti tanah, kopi dari Sumatra. Bisa saja rasa
itu berubah ketika tanah memengaruhi. Misalnya saja, tanah tersebut sebelumnya
ditanami dengan buah apel, pasti kopi yang dihasilkan bisa memunculkan rasa
asam buah apel. Atau bisa juga karena kebun kopinya berdampingan dengan kebun
apel.”
“Menarik.”
“Ya. Aku selalu suka
membicarakan kopi. Begitu banyak yang menakjubkan dari sebuah kopi. Kau harus
mencicipi kopi-kopi singel origin
dari berbagai daerah. Nantinya kau akan merasakan sendiri bagaimana cita rasanya.
Kau juga bisa mengikuti acara cupping
yang mendiskusikan mengenai rasa-rasa baru yang dari kopi. Di kedai ini acara cupping diadakan satu bulan sekali, kau
bisa ikut,” kataku kemudian. Ia hanya memunculkan senyum kecil dan
mengangguk-angguk mengerti. Tingkahnya membuatku sadar mengapa aku berani
berbicara panjang lebar seperti itu.
“Mengapa kau selalu
memesan Malabar? Sepertinya kau tidak pernah mencoba kopi dari daerah lain. Kau
hanya mengganti jenis seduhannya saja?” Tanyaku untuk mengurangi
kecanggunganku.
“Aku ingin mencari
selera rasaku dengan menggunakan seduhan manual yang tepat.”
“Kau sudah
menemukannya?”
“Belum,” katanya. Ia
masih diam, “Aku masih menemukan rasa pahit. Bisa kau ajarkan aku bagaimana
caranya mencicipi kopi?” Tanyanya sambil melihat kepadaku. Aku kaget dan
terdiam. Aku merasakan aliran nafasku berbeda. Ia masih menatapku kemudian
menaikkan alis meminta jawaban dariku.
“Aku yakin, kau bisa
mendapatkan rasa dari secangkir kopi dengan cara ajaibmu,” kataku. Ia masih
terdiam melihatku. Aku sadar betul yang aku katakan beberapa detik lalu terlalu
hiperbol. Ia tersenyum dan membuatku mengikuti.
“Mengapa kau selalu
menyeduh kopi dengan alat manual. Aku tak pernah melihatmu berada di mesin espresso?” Tanyanya kemudian.
“Ketika aku menyeduh
dengan seduhan manual, aku seperti memainkan sebuah musik. Perasaanku melebur
ketika aroma seduhan itu mulai bisa aku cium. Berbeda ketika aku menggunakan
mesin espresso dan membuat latte art. Aku hanya menikmati seniku
sendiri secara fisik. Ketika menggunakan manual
brew, aku seperti menikmati seniku melalui rasa. Dari situ aku mengerti
betul bagaimana meleburkan perasaan hingga mampu mendetaksi rasa. Aku
menyadarinya, bahwa untuk menghasilkan sebuah rasa yang diinginkan itu
membutuhkan proses. Dan, kopi sendiri pun memiliki proses yang panjang untuk
bisa sampai ke penikmatnya. Aku menikmati proses seduhan tetes demi tetes,
seperti menunggu tetes air hujan yang memenuhi kaca jendela karena hujan tak
kunjung datang. Aku tidak mau perjalanan kopi dari hulu ke hilir akan berakhir
sia-sia di cara penyeduhannya. Memunculkan kompleksitas rasa dengan tetap
mengandalkan keseimbangan merupakan tujuanku menggunakan alat seduh manual.”
“Berapa lama
prosesnya agar mampu menjaga keseimbangan seduhan supaya rasa khasnya tidak
hilang?”
“Lama, sangat lama.
Awalnya aku pun mati-matian agar rasio yang aku gunakan bisa diterima bosku
sendiri sebelum sampai ke pelanggan. Sampai aku putus asa dan aku ingin kembali
memegang mesin espresso. Rasanya aku
ingin mengembangkan kemampuanku di latte
art saja, tetapi aku merasa semua itu akan sia-sia. Penampilan fisik
perlahan akan mati dan tidak mempunyai nyawa untuk meluluhkan rasa,” aku diam
sejenak. Aku membayangkan ketika Pak Roni terus-terusan memprotes kopi
seduhanku yang tak kunjung baik. “Sampai akhirnya, aku...,” aku menghentikan
bicaraku. Aku seperti enggan mengatakan ini tetapi inilah faktanya. Aku
melihatnya dan ia masih menungguku melanjutkan cerita, “sampai aku, mendengar
sebuah musik. Aku merasakan ketenangan dan perasaan yang lembut. Bagiku, nada
dari musik tercipta melalui perasaan sampai bisa diterima oleh pendengaran.
Apabila kopi, karakternya dapat muncul ketika rasio, aroma, dan teknik seduhan
dilakukan bersama rasa. Ibaratnya seperti itu. Aku menyeduh, aku seperti
memainkan sebuah alat musik,” kataku semakin memelan. Ia tersenyum, sungguh
membuatku semakin gemetar.
“Dari suara petikan
gitarmu aku belajar meluluhkan perasaanku dalam seduhan,” kataku cepat. Ia diam
melihatku. Terlihat mimik kaget di wajahnya. Aku tidak tahu mengapa aku berani
mengatakan itu tanpa tedeng alih-alih. Aku hanya ingin, aku tak mau lagi
basa-basi dan nyatanya memang ia lah yang menjadi faktor inspirasiku.
“Dari petikan
gitarku?” Tanyanya sambil menggerakkan alis matanya ke atas. Aku mengangguk.
Kami diam. Suara deru hujan di luar sana semakin bergemuruh. Aku semakin
merasakan bahwa hujan datang pada waktu yang tepat saat ini.
“Kau mau tambah
kopimu dengan jenis seduhan berbeda? Apa kau mau mencoba singel origin lain?” Tanyaku untuk menghilangkan salah tingkah pada
diriku.
“Tidak usah. Aku
ingin menikmati hujan saja di sini. Aku selalu merasa bahwa hujan begitu indah
ketika aku berada di sini, Rain,” katanya dengan ekspresi wajah yang datar.
Rain? Dia menyebut
hujan atau memanggil namaku? Aku diam seketika. Aku tak tahu apa yang harus aku
pikirankan. Sebaiknya aku pamit pergi daripada aku gila dengan sikap salah
tingkahku.
“Ok. Aku kembali ke bar, mungkin lain waktu kita bisa melanjutkan
diskusi,” kataku dengan posisi mendorong kursi agar aku bisa berdiri.
“Aku Dawai,” ia
menyodorkan tangannya. Namanya tepat dengan julukan yang aku buat.
“Mungkin semua ini hanya
kebetulan,” aku membatin. “Rain,” aku segera membalas uluran tangannya dengan
menyebut namaku. Ia tersenyum. Entahlah sebutan tadi untuk hujan atau untukku.
“Apa aku salah jika
beranggapan, bahwa kopi mampu menerjemahkan rasa bersama hujan?”
“Kau sendiri yang
tahu bagaimana menemukan rasa ajaib dari kopi di cangkirmu. Aku hanya
bertanggung jawab menyampikan rasa.”
Aku tersenyum ringan
dan berbalik meninggalkannya yang masih mematung. Langkahku pasti menuju dapur
bar. Tak ada lagi kecanggungan. Tak ada lagi penyesalan karena tak sanggup
berkata-kata di hadapannya. Deru hujan di luar sana seakan hilang karena
tertimpa perasaanku sendiri. Ya, aku percaya bahwa kopi mampu menerjemahkan
rasa. Bukan hanya perihal bagaimana menciptakan kompleksitas rasa, atau perihal
membahagiakan peminumnya agar tidak lagi mengatakan bahwa kopi itu pahit,
tetapi bagaimana kopi menjadi tema sentral dari banyak momen yang menyimpan
rindu.[]
Prajna Vita
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com*
Komentar
Posting Komentar