Aku tidak mempunyai rasa untuk menulis. Otakku seakan beku oleh kata-kata. Aku tak tahu apa yang ingin aku tulis. Menjadi sebuah tulisan absurd tanpa susunan kata yang jelas mungkin akan tercipta dengan sendirinya. Akan menulis tentang semesta.., atau…, dia? Entahlah,
Mungkin, keduanya saling bersangkutan.
Pada semesta yang kala itu hujan ringan. Aroma tanah kering sudah tak tercium lagi, yang ada bau tanah basah. Titik-titik air telah menempel pada kaca jendela, dan, indahnya sungguh sederhana. Imajinasi meliar tetapi tak tahu satu titik mana yang akan dirangkaikan dari kata menjadi kalimat, lalu tersusun paragraf, kemudian lengkap menjadi satu tulisan utuh yang meninggalkan makna.
Aku mengingatmu ketika aku melihat semesta, lalu aku mengagungkan-Nya. Gerimis itu menyapa, aku tahu, itu dari-Nya. Hujan itu pertanda, bahwa air yang jatuh akan kembali lagi pada-Nya, begitu seterusnya.
Hujan kala itu, yang aku minta jangan biarkan badai datang menjatuhi tanah. Aku ingin berbaring menatap langit dan meninggalkan masalah. Bersamamu, ya bersamamu. Mendukung, mendorong, mengiringi, menemani, mendoakan, lalu melihatmu di puncak.
Aku menyayangimu. Cukup aku ada ketika kau sulit, meski aku hanya bisa berdoa agar terlepas kesulitanmu. Kau sudah mudah, semuanya kukembalikan kepadamu.[]Prav
Jakarta, 28 Juli 201609.53
Komentar
Posting Komentar