Photo by, Prajna Farravita Located: Maribaya, Lembang, Bandung |
Kesia-siaan
seperti apa jika pendidikan wanita hanya sampai di meja dapur?
SAYA katakan bahwa saya sering terjebak dalam obrolan kesia-siaan tentang pendidikan
tinggi seorang wanita tetapi berakhir di meja dapur. Saya akui bahwa saya
(dulu) sempat ikut terjebak dalam pemikiran klise tersebut. Dan akhirnya, saya bangga bahwa
saya sampai pada pemikiran yang berbanding terbalik dari orang kebanyakan.
Obrolan
itu sampai di meja dapur juga. Ketika gelar sarjana yang didapatkan oleh seorang
wanita akan sia-sia jika ujungnya mengurus rumah tangga. Saya tahu bahwa saya
sedikit naif, tetapi saya juga tahu bahwa apa yang saya pikirkan cukup benar.
Begini,
seseorang mengatakan bahwa gelar pendidikan tinggi untuk seorang wanita jika
akhirnya tidak terpakai di dalam dunia kerja atau karier semua itu akan
sia-sia. Saya tidak mengatakan bahwa pendapatnya salah. Saya juga tidak
mengatakan setuju dengan argumen tersebut.
Di
dalam seratus persen mungkin hanya ada satu persen bahwa perkataan tersebut saya
anggukkan. Namun, sembilan puluh sembilan dari seratus persen saya mengatakan
bahwa “Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Jadi semua itu tidak menjadi
masalah”.
Persoalannya.
Mengapa sia-sia? Jika pendidikan tinggi tersebut mampu memperbaiki pola pikir
yang lebih bagus. Karakter dan pola pikir seseorang akan berbeda dari yang
mampu memecahkan persoalan dengan yang tidak mampu.
Apakah
menjadi masalah jika pendidikan tinggi seorang wanita meskipun akhirnya
mengendap, tetapi wanita itu memiliki karakter yang baik? Karakter yang mereka
dapatkan dari pengalaman sosialisasi mampu membentuk karakter yang lebih baik,
termasuk menyingkirkan keegoisan.
Apakah
sebuah perkara jika pendidikan tinggi seorang wanita mandek di dapur, tetapi
anak-anak mereka memiliki kepribadian yang baik? Guru paling pintar untuk
anak-anak ialah seorang ibu. Setiap pengalaman yang wanita miliki tidak mungkin
jika tidak mereka bagi kepada anak-anaknya. Setiap tindakan, sikap, dan
kepribadian seorang wanita tidak mungkin tidak ia ajarkan kepada anak-anaknya.
Apakah
sebuah persoalan jika pendidikan seorang wanita berujung pada keluarga?
Bukankah itu salah satu cara dalam menyampingkan keegoismean? Bukankah itu
salah satu amalan yang mendatangkan pahala?
Tuhan
tidak akan membiarkan segalanya sia-sia. Tuhan lebih mengerti apa yang kami
butuhkan meski kami tidak menginginkannya.
Manusia
memang terus menginginkan lebih tanpa tahu bagaimana bersyukur dan berbuat yang
lebih baik. Terus-terusan berpikir pada sudut pandang yang itu-itu saja.
Apakah
kau tahu? Sudut yang berada paling jauh dari orang kebanyakan lebih indah.
Hanya saja banyak yang tidak cukup mau untuk menemukan sudut indah itu, karena
terlihat sepi. Ya, akan selalu terlihat sepi jika pancaindra tidak digunakan
dengan baik.[]
Prajna
Vita
Jakarta, 3 Mei 2015
20.10
Komentar
Posting Komentar