Langsung ke konten utama

Tutup Matamu Dengan Selendang

Photo by, Prajna Farravita
Taken di Hutan Mangrove Jakarta
In Frame Tiara Puspita

Tutup matamu dengan selendang jika kau tidak mau melihat kilatan pedang~

Kalimat itu sempat membawaku pada sebuah imajinasi kekejaman yang keluar dari mulut. Ya, mulut bisa bercakap lebih tajam dari pisau. Lebih menyengat dari terik surya. Lebih menakutkan dari kilatan pedang.

Ada yang mengatakan bahwa pedang lebih tajam dari pisau. Ya, nyatanya dari kilatannya saja sudah menakutkan.

Apa maksud semua itu?

Begini,

Seseorang mampu menyakiti orang lain sesakit-sakitnya hanya dengan satu kata yang muncul dari mulutnya. Ibaratkan sebuah kalimat lengkapnya itu ialah pedang, sedangkan beberapa kata singkat kata intinya ialah kilatan pedang. Menakutkan dan mematikan. Bahkan seperti belati yang mampu menusukkan hingga membocori ulu hati.

Maka, tutuplah matamu dengan selendang jika kau takut dengan kilatannya. Kilatannya saja sudah mampu membawamu ikut menancapkan pedang itu ke orang lain.

Melalui sebuah opini yang katanya fakta mampu mengantarkan mulut kita pada topik tersebut. Memberikan fitnah tanpa tahu sebab akibatnya. Tanpa tahu perihal ya dan tidaknya.

Bukankah sudah dikatakan berkali-kali bahwa mulutmu harimaumu? Untuk menghindari harimaumu menerkam dirimu sendiri lebih baik kau tutup matamu dengan selendang. Membiarkan kilatan pedang menyala dengan lihai. Membiarkan pedang itu menari di udara ke sana ke mari. Selendang itu lebih berharga dari sebatas tatapan nanar dendam.[]Prav




Prajna Vita
Jakarta, 5 Juni 2017

20.40

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Salah Masuk Labirin

LEPASKAN rasa ini dan fokus pada tujuanku. Hilangkan rasa ini dan anggap seperti kau dan aku teman. Aku berusaha sewajarnya, tetapi kau memancingku dengan semua yang aku suka. Musik, gambar, typografi, photo, dan coffee . Lebih jauh mengenalmu membuatku takut. Aku takut kehilanganmu sebagai teman diskusi, sebagai teman yang membantuku untuk melatih kemampuanku mengenal kopi. Kemampuan membuat lidah lebih peka dengan citarasa kopi dan kemampuan untuk kembali menulis. [Jkt, 25/10’15 : 21.08] Aku merasa yang aku alami selama ini ialah sebuah mimpi. Semua hal-hal menakjubkan datang begitu saja. Semua ini berpengaruh positif pada diriku. Ketika berimajinasi mengenai kisah ajaib, aku menanyakan pada diri sendiri. Apakah aku sedang koma? Lalu, hal-hal yang terjadi selama ini ialah mimpi di dalam komaku. Jika, ya, aku yakin akan menyesal ketika sadar. Namun, jika aku ditakdirkan untuk bangun lagi, aku pasti akan mengingat kisah mengesankan itu dan akan mempunyai semangat hidup yang l...

Resensi: Catatan Juang, Membuat Seseorang Berani Bertindak

Photo by Prajna Vita Judul: Catatan Juang Penulis: Fiersa Besari Penerbit: Media Kita Cetakan: Pertama, 2017 Tebal: vi + 306 hal ISBN: 978-797-794-549-7 “Seseorang yang akan menemani setiap langkahmu dengan satu kebaikan kecil setiap harinya”, tertanda Juang. PERNAH terinspirasi dari seseorang? Inspirasi bisa datang dari mana saja. Dari orang, film, karya seni, hal-hal sekitar, lagu, musik, atau bahkan tulisan. Namun, bagaimana jika terinspirasi dari sebuah barang kepunyaan seseorang yang belum dikenal dan mampu mengubah dunia? Apakah itu sebuah Konspirasi Alam Semesta? Ya, karena semesta yang mendukung apa yang akan terjadi. Seperti halnya, semesta akan membawamu pada zona nyaman atau tidak, begitupun sebaliknya, akan membawamu keluar dari zona nyaman atau tidak. Kita juga tidak pernah salah keluar dari zona nyaman apabila semesta mendukung. Setiap konspirasi mungkin akan menyulitnya dan kau sendirilah yang akan tahu seberapa besar kau bisa menggapainya....

Perjalanan dalam Misi Mencicipi Kuliner Lokal dan Bagaimana Kuliner Mendominasi Kehidupan

Aruna & Lidahnya Laksmi Pamuntjak Gramedia November 2014 (Cetakan Pertama) 432 Halaman 978-602-03-0852-4 Rp 78.000,- Sebuah novel tentang makanan, perjalanan, dan konspirasi. Laksmi Pamuntjak mampu menyuguhkan karya fiksi yang mengaitkan kuliner dengan konsep kehidupan. Dalam kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota di Indonesia, Aruna yang bekerja sebagai konsultan epidemiologi atau disebut “Ahli Wabah” ditugaskan melakukan penelitian. Dalam kesempatan penelitian itu Aruna bersama dua karibnya, Bono dan Nadezhda yang terobsesi terhadap makanan memanfaatkan perjalanannya untuk menikmati kuliner lokal. Dalam misi pencicipan cita rasa makanan bukan hanya mengetahui makanan secara umum, tetapi bagaimana makanan telah mendominasi kehidupan. Konsep kehidupan seperti realita sosial, politik, agama, dan sejarah yang tak hanya berkaitan dengan kolusi, korupsi, konspirasi, dan misinformasi, tetapi juga menyatukan cinta dan pertemanan. Cara...